La Premiere Voyage

  • Whatsapp
Muhd Nur Sangadji. Foto: Istimewa

Jam sudah menunjukan pukul 01.43 Wita. Koneksi internet sudah putus. Itu artinya, kapal telah ada di laut lepas. Sekitar lima jam lagi baru tiba pelabuhan Bobong. Ombak mengayunkan kapal agak kencang. Ku lihat di dinding ada satu pelampung. Sementara, kami berdua di kamar ini. Mengapa hanya satu.? Itu untuk ABK. Ini kamar mereka yang disewakan. Untung, saya juga bawa jaket  pelampung cadangan. Sekedar iktiar. Masih tersimpan di dalam kopor. Semoga tidak bermasalah.

***

Bacaan Lainnya

Saya terbangun ketika Jam menunjukan pukul 03.35. Goyangan kapal kian kencang. Saya puyeng. Padahal, kalau tidak sekolah. Saya ini adalah nelayan. Setengah hidup ku saat SD sampai SMA, ada di laut. Saya pernah ikut memburu ikan tuna di laut lepas. Ombaknya setinggi 10 meteran. Tapi, kali ini saya pusing. Barangkali, lantaran sambil menulis catatan ini di atas ombak.

Saya putuskan berhenti menulis. Lantas, buka WA satu-persatu. Ada kiriman tengah malam dari Kasrem Tadulako. Ajakan shalat Tahajud. Beliau ini tentara yang ibadahnya mengagumkan saya. Satu waktu kami ada acara dengan pak Gubernur. Beliau pamit kepada saya dan Prof Djuraid untuk shalat zuhur. Sedangkan, kami tetap hadapi nasi kotak. Padahal kami berdua adalah penceramah. Saya bilang ke Prof Djuraid, lanjutkan. Masih ada teman kita, ustadz Muhtaddin dari MUI. Lalu, kami percepat santapnya, kemudian bertiga pergi shalat.

Jam telah menunjukan pukul 6.30 pagi. Kapal merapat ke palabuhan Bobong. Disambut guyuran hujan deras sekali. Sedikit lagi, saya turun dari kapal. Injakan pertama di pulau yang namanya telah terpahat di memori ku sejak kecil. Kultur leluhur orang Tidore waktu menginjak tanah untuk pertama kali. Ada upacara “joko hale” (injak tanah). Itu pun baru saya tahu saat menemani ilmuan asing waktu seminar international di Universitas Khairun beberapa waktu lalu.

***

Dari pulau Taliabu ini, saya menyaksikan gelondongan kayu berukuran raksasa dibawa pergi. Tongkang dan kapal jepang mengangkutnya. Sering berlabuh lebih dahulu di pelabuhan Ternate. Sejak tahun 1970 an itu, saya telah mengenal nama PT Pantunggal dan PT Barito. Dua perusahaan kayu yang menggarap halmahera dan sekitar. Tahun 2004, saat bekerja untuk UNDP, saya bilang dengan nada tanya kepada Gubernur Maluku Utara bersama pak Rohmin Dahuri. Harta bumi Halmahera dikeruk sejak lama. Semuanya untuk siapa..? Rakyat dan pemerintah daerah, pusat serta negara mendapat apa dan berapa..? Pertanyaan yang masih tetap relevant ditanyakan ulang, untuk setiap explorasi SDA di seantero negeri Indonesia saat ini. (BERSAMBUNG)

Pos terkait