Oleh Muhd Nur Sangadji
SUDAH 30 tahun lamanya saya menjadi guru. Baru sekarang mengetahui, bila guru pun punya hari jadi. Minggu lalu kita memperingatinya. Tanggalnya, 25 November.
Diperingati setiap tahun. Itulah tanggal yang ditetapkan berdasarkan hari lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tahun 1994. Sebelumnya, UNESCO telah menetapkan tanggal 5 Oktober 1994 sebagai hari guru sedunia.
Entah mengapa saya tidak pernah tahu sebelumnya. Barangkali karena saya berstatus dosen ? Tapi, saya juga tidak tahu apakah Dosen juga punya hari jadi..?
Bukankah dosen adalah guru ?. Mungkin ada yang tidak mau disamakan. Boleh jadi, karena nomenklatur UU juga membedakan guru dan Dosen. Lalu, mengapa saat menjadi profesor baharu mengakui statusnya sebagai guru. Malah ditambah kata “besar” atau “maha” setelahnya. Menjadi, “guru besar” atau “maha guru”. Mengapa bukan dipanggil “dosen besar” saja.
Sementara itu, makna kata professor itu sendiri adalah guru. Itulah sebabnya ada negara yang memanggil professor untuk guru. Mulai dari level SD hingga Perguruan Tinggi.
Karena itu, dalam banyak artikel yang saya tulis, saya menyematkan identitas sebagai guru kecil saja. Itu, sebagai anti tesis bagi demam memburu status professor. Diduga lantaran melambungnya tunjangan, meski kian beratnya prasyarat untuk mencapainya (lihat tulisan : They call me professor).
Di hari guru tahun 2020 ini, pikiran ku melayang jauh ke belakang. Kala itu tahun 2006, saya dan karib dosen, Abd Wahid serta Koa (activis NGO lokal). Kami jumpa satu sosok guru di tengah hutan. Pria paruh baya itu mengenakan celana pendek. Berjalan sendiri sambil memikul potongan kayu yang ujungnya bergantung tas kecil. Kakinya penuh lumpur hingga ke paha. Saya baru mengerti mengapa beliau memakai celana pendek ? Alamlah yang memaksa.
Medan yang dilaluinya sangat berat. Bergunung, berlumpur dan berbecek sedalam ukuran telapak hingga paha orang dewasa. Setiap hari begitu untuk jarak hampir satu kilometer.
Orang itu bernama Muhamad Nur. Identitas yang sama dengan nama saya. Laki laki asal Makasar ini telah bertugas selama 25 tahun di kawasan ini sebagai guru. Kawasan Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una Una, Provinsi Sulawesi Tangah. Itu, tahun 2016. Artinya, sudah relatif 30 tahun pada 2020 ini.