Jabatan pak Nur adalah kepala sekolah sebuah SD di pedalaman Kecamatan Lebiti, Kepulauan Togean. Keadaan sekolah yang sangat sederhana. Tiang, dinding dan atapnya terbuat dari bahan yang ada di hutan sekitar.
Tidak banyak hal yang kami bincangkan. Namun sedikit info dan kesaksian ini sudah terlalu banyak menyimpan cerita tentang perjuangan sang guru ini. Di dekat sekolah, beliau bersihkan kaki dan tubuh di sungai kecil yang mengalir jernih. Lalu, mengenakan celana panjang dan masuk kelas. Mengajar sebagai guru.
Di perjalanan lanjut setelah kami berpisah, saya membasuh peluh. Peluh yang tidak sebanding dengan yang beliau cucurkan. Di air bening dekat kampung, saya berkaca. Terlihat wajah ku sangat lelah. Tapi, pasti tidak setara dengan lelahnya beliau.
Tiba-tiba, teringat bait puisinya Taufik Ismail tentang Kasim Arifin di Waimital, Pulau Seram, Maluku. “Ingin rasanya ku ludahi wajah ku sendiri di cermin air bening itu”. Saya malu kepada guru di pedalaman ini. Karena di kota, kita menjangkau sekolah dan kampus dengan mudah. Semua kendaraan kita punya. Itu pun disertai keluhan. Tapi, beliau..?
Di kota, kita juga sangat sibuk berlomba menghitung imbal jasa. Berkompetisi mengejar remunirasi. Padahal gaji kita lancar mendarat di rekening saban awal bulan.
Tapi, beliau dan sahabat guru senasib ? Mungkin, tiga bulan sekali. Sering juga penuh dengan potongan. Saya makin malu bercampur sedih dan kecewa.
Maka di hari guru ini, ingin sekali saya merenung dan berkata. Tentang sematan apresiasi untuk guru. Mereka adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun, kepantasan itu, mungkin, belumlah layak untuk saya dan kita. Walahu alam bi syawab. ***