Tapi, diplomasi internasional tidak pernah menyoal akar masalah. Tentang perampokan atau perampasan tanah air milik kita. Para penjajah itu justru berlomba membagi jatah, tanah berdaulat itu. Mereka melakukan melalui perjanjian di tanah Eropa antar sesama penjajah. Mereka melakukannya dengan licik, curang dan tidak beradab.
Bahwa kemudian muncul perlawanan sporadis dari sejumlah orang yang hari ini kita sebut mereka pahlawan. Itu pun, sangat boleh jadi oleh para penjajah, disebut bukan mewakili Nusantara. Mereka disebut, hanyalah pemberontak. Kaum ekstrimis. Kaum pengacau dan sejenis tuduhan lainnya.
Pada saat bersamaan, orang juga bisa bilang. Sebenarnya, bukan Indonesia berperang lawan Belanda. Hanya kelompok kecil yang angkat senjata melawan VOC. Organisasi perdagangan Belanda. Sama analoginya dengan sekarang. Tidak ada pertikaian Palestina Israel. Tapi, Hamas melawan organisasi zionis Israel. Seolah kita mau bilang, ini hanya urusan Hamas dan Zionis semata. Bukan, urusan pembebasan Palestina dari penjajahan Israel. Persis menyederhanakan perlawanan pemberontak melawan VOC. Bukan pembebasan Indonesia dari penjajahan.
Keberpihakan dalam setiap konflik akan tetap ada. Tapi, berpihak pada apa yang kita yakini benar, selalu bersifat nisbi. Karena itu, jangan kita kira, semua orang Indonesia berpihak pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Penjajahan begitu lama (350) adalah buktinya. Selalu saja ada khianat atas nama, terutama materi dan kedudukan.
Sebaliknya, janganlah juga mengira, semua orang Belanda setuju dengan tindakan pemerintahnya atau VOC. Buktinya, ada Edward Dowes Dakker alias Multatuli yang bangkit melawan pemerintahnya untuk membela Indonesia. Lalu, rela dituduh pengkhianat oleh bangsanya sendiri.
Saya juga punya sahabat bernama Crist Sedoty. Anggota Komnas HAM Australia. Beliau bilang kepada kami dalam satu acara tentang demokrasi di kota Palu tahun 2002. Saat Amerika menyerang Irak dan didukung pemerintah Australia. Ada lima puluh ahli hukum Australia yang menentang pemerintahnya. Salah satu adalah dirinya.
**
Kalau saya berusaha jujur dengan fakta sejarah. Kehadiran penjajah Eropa di Nusantara terkesan lebih elegan dibandingkan dengan Israel di Palestina. Penjajah Eropa datang dengan misi perdagangan. Setelah itu, menopoli. Kemudian menjajah. Kaum Yahudi, datang dalam posisi terlunta- lunta sambil meminta belas kasihan. Tapi kemudian menindas kaum yang telah menyelamatkan kehidupan mereka.