“buat apa saya peduli dengan mereka, dulu mereka tak memilih saya”. Sebaiknya dari sudut konstituen pemilih kalah, juga akan mengakatan demikian, “buat apa saya patuh pada keputusannya, dia bukan pilihan saya”.
Soal yang sedang diurai ini bukan saja ditujukan kepada proses pemilihan sekelas pilres atau pilkada, tapi dalam jenjang apa saja. Apakah dalam organisasi sosial kemasyarakatan, atau partai politik, juga termasuk dalam lingkup proses pemilihan dekan dan rektor di kampus dan lainnya. Dalam sistem demokrasi itu, apakah telah berjalan secara substansial atau masih terkategori prosedural, terkadang kita gampang saja terjebak dalam lingkaran dilema yang tak berkesudahan.
Kata sejumlah orang, suara mayoritas itu belum tentu mewakili suara kebenaran. Kata pihak yang lainnya, hasil dari suara mayoritas itu belum tentu melahirkan orang yang baik dan benar.
Jika begitu alur pikirnya, maunya apa?
Itulah barangkali pertanyaan yang perlu dititipkan kepada para pakar kita yang ada di kampus-kampus, yang biasa sering di panggil Pak Doktor atau Ibu Doktor, berilah publik pencerahan agar kita bisa memilih pemimpin yang berkualifikasi manajer perubahan, bukan memilih pemimpin yang nantinya hanya akan melayani kolega-koleganya yang suka memberi pujian palsu, sembari memetakan pihak-pihak yang perlu dikerdilkan perannya.
Penilis adalah Praktisi Komunikasi Massa