Ternyata persoalannya tidak di situ. Ada banyak tulisan dengan uraian yang sangat rasional. Saya berfikir, pemerintah harusnya juga punya kontra narasi yang sama rasionalnya. Bila tidak, inilah pangkal soalnya. Mengapa rakyat tidak iklas. Mereka menemukan hal lain yang bertolak belakang.
*****
Saya ambil yang lebih sederhana pembuktiannya. Pemerintah beralasan menaikkan harga BBM, untuk agar subsidi tepat sasaran. Kalau begitu, saya minta pemerintah beri jawaban logik. Mengapa para pejabat di banyak level, memperoleh kupon bensin..? Mengapa pegawai biasa tidak dapat..? Mengapa mereka diperbolehkan alokasikan budget untuk hak istimewa begini (privilege). Bagiku, hal begini bukanlah “simbol of otority” yang lazim. Ini, justru contoh yg paling sederhana dan sangat kentara tentang subsidi salah sasaran itu..! Lihatlah, yang dapat mobil dinas itu adalah orang yang punya mobil. Juga, yang dapat kupon bensin itu adalah yang mampu beli bensin. Coba hitung, berapa penghematan terjadi dari contoh kecil ini…?
Kita menunggu, kontra narasi yang masuk akal tentang semua ini. Namun sepanjang waktu berselang, tidak terlihat. Pemerintah masih saja hadir dengan gagasan konvensional, bantuan langsung tunai yang terus dicemooh. Tiba-tiba beredar desas-desus Wapres menghiba pada rakyat untuk beri sumbangan, lantaran kas negara menipis. Seandainya benar, saya malah berfikir. Sedangkan sumbangan imbal balik sebesar relatif dua ribu rupiah untuk BBM saja mereka tidak rela. Apatah lagi, sumbangan “cash” langsung atau BLT rakyat ke negara, seperti yang terjadi pada masa silam, atas nama cinta tanah air?
*****
Saya berpandangan. Di seantero bumi ini, sebuah negara atau satu lembaga tidak akan pernah beres, bila penyelenggaranya, curang, tamak dan tidak adil. Inilah semua tabiat yg menciptakan zigot embrio bernama “Civil disobeidiences”. Yaitu, Embrio yang kalau tumbuh besar akan membentuk kekuatan pembangkangan warga pada apa pun yang diucap atau dibikin oleh penguasa. Saat itu, sesungguhnya rezim tersebut sudah tamat. Lebih khawatirnya lagi, bila negaranya yang “bubar”. Seperti terjadi pada Uni sovyet dan Yugoslavia.