Ketika itulah tantangan mulai menghadang. Beberapa sekolah balet di Australia menyatakan tak bisa menerima murid yang berhijab. Apalagi, waktu itu di dunia memang belum pernah ada figur balerina berhijab. ”Pada titik itu, sempat berpikir mungkin jalan saya bukan di sini,” kenangnya.
Saat itu Stephanie berusaha mengalihkan impian dengan mengerjakan aktivitas menyenangkan lainnya. ”Saya suka hal-hal kreatif. Saya coba menulis dan mendesain,” ungkapnya.
Namun, semangat yang meletup-letup mendorong sulung tiga bersaudara kelahiran 3 Oktober 2001 itu untuk tak lekas menyerah. Hati dan pikirannya terus menyalakan tekad untuk meraih mimpi menjadi balerina.
Setelah tiga tahun vakum dari balet, Stephanie mulai tergelitik saat melihat sosok Zahra Lari, atlet figure skating berhijab pertama di dunia dari Uni Emirat Arab. Dalam olahraga tersebut juga ada gerakan-gerakan dancing layaknya balet. ”Kalau dia bisa, kenapa saya tidak?” ujar Stephanie.
Sosok inspiratif lain hadir kala Stephanie melihat Misty Copeland, yang berhasil menjadi balerina utama berdarah Afrika-Amerika pertama dalam 75 tahun sejarah American Ballet Theatre (ABT), salah satu grup balet tersohor di Amerika Serikat (AS).
Selain itu, ada Amna Al Haddad, lifter atau atlet angkat besi berhijab pertama di dunia dari Uni Emirat Arab. Juga Noor Tagouri, news anchor berhijab pertama di stasiun televisi AS. Mereka adalah sosok yang konsisten mengejar mimpi di tengah berbagai hambatan yang dihadapi. ”Hati saya tergugah,” kata balerina yang pada periode 2004–2010 rutin tampil di panggung Riverside Theatre, New South Wales, itu.
Stephanie pun akhirnya kembali ke balet ketika menginjak usia 12 tahun. Dia terdorong untuk mematahkan stereotipe balerina dan ingin menunjukkan kepada dunia. ”Meskipun saya mengenakan jilbab, itu tidak menghentikan saya untuk mengejar mimpi,” tegasnya.
Kali pertama tampil sebagai balerina di hadapan audiens dengan kostum berhijab, Stephanie mengaku berdebar. Sempat terbetik kekhawatiran jika dia tidak akan diapresiasi. ”Rasanya amat berbeda. Tapi, respons orang-orang di lingkungan saya sangat baik dan suportif,” ungkapnya lega.
Support dari keluarga dan lingkungan sekitar amat besar. Pada 2012 sang ibu yang berdarah Rusia membuka Australian Nasheed & Arts Academy, yang menyediakan kelas performing arts, nasyid, balet, dan martial arts untuk anak-anak. Dengan begitu, Stephanie bisa kembali melanjutkan latihan baletnya.
Memang, langkah yang diambil Stephanie tak selalu mulus. Kritik dan komentar pedas tak jarang ditujukan kepadanya. Sebagian orang tidak yakin Stephanie mampu meraih cita-citanya menjadi balerina. Sebagian lainnya menentang Stephanie yang melakukan gerakan balet dengan berhijab. ”Yang seperti itu biasanya di online dan media sosial,” katanya.