PALU EKSPRES, JAKARTA – Momentum menjelang kompetisi politik selalu diiringi dengan munculnya lembaga-lembaga survei baru. Mereka seakan berlomba mempublikasikan hasil surveinya. Namun, tidak sedikit yang dituding abal-abal.
Survei politik sangat rumit. Barangkali lebih rumit dari jalan pikiran perempuan. Tetapi, kesempatan emas jarang datang dua kali. Itulah yang diyakini beberapa lembaga survei menjelang tahun-tahun politik. Karena itu, mereka seakan memburu waktu saat melakukan riset. Semakin cepat, semakin baik. Saking cepatnya, margin error kadang bisa lebih tinggi dari yang tertulis di atas kertas rilis.
Akurasi yang tidak tepat tentu berbahaya bagi para petarung pemilu. Bisa mengecoh dan akhirnya kena pukul lawan, lalu kalah telak. Padahal, dari mana lagi para calon pemimpin ini tahu pilihan rakyat tanpa survei?
Karena itu, dosen Statistika ITS Agnes Tuti menyampaikan bahwa lembaga survei harus mempunyai atau merekrut SDM yang benar-benar paham statistik. Terlepas dari apakah orang tersebut paham atau justru buta politik.
”Tujuannya, mengestimasi dan menjadi parameter bagi yang berkepentingan,” katanya.
Jika lembaga survei itu mengaku independen, akurasi data harus dinomorsatukan. Berbeda halnya jika survei tersebut dilakukan dengan tujuan tertentu (purposive).
Ada banyak hal dalam ilmu statistik yang harus dipahami lembaga survei. Yang terutama adalah pengetahuan terhadap populasi, baru kemudian pengetahuan terhadap metode survei. Bukan hanya soal jumlah dan sebaran populasi. Melainkan juga pada karakteristik populasinya. Dari pengetahuan soal karakteristik populasi inilah, muncul banyak turunan yang akan memunculkan data-data sekunder baru.
Tuti mencontohkan kaitan antara pilihan partai politik dan rentang usia pemilih. Data itu bisa didapatkan pada sampel pemilih yang pernah mengikuti pemilu. Yang menjadi tantangan adalah mereka yang merupakan pemilih pemula. Tidak ada data pembanding sebelumnya soal kecenderungan parpol.
Untuk pemilih pemula, survei pendahuluan bertujuan mencari tahu faktor yang memengaruhi pilihan mereka. Termasuk pilihan untuk tidak memilih. Dia menuturkan, pemilih pemula cenderung tidak menggunakan hak pilih karena alasan tertentu. Yang paling bisa ditebak adalah ketidaktahuan pada dunia politik, tapi bisa juga karena alasan lain.
Pengetahuan dari survei pendahuluan itulah yang digunakan surveyor untuk merancang desain survei. Desain survei beragam, bergantung variabel yang disurvei dan metode survei. Menurut dia, surveyor harus pandai-pandai melihat metode survei apa yang paling sesuai untuk variabel yang mereka gunakan.
Dalam statistika, lanjut dia, ada tiga metode yang biasa digunakan untuk survei sosial politik. Yakni, simple random sampling, cluster sampling atau multistage random sampling, dan stratified sampling. Tidak semua metode tersebut dapat digunakan lembaga survei independen.
Tuti menjelaskan, simple random sampling baru bisa diterapkan jika lembaga survei memiliki daftar seluruh populasi dalam lingkup yang disurvei. Misalnya, jika ingin menghitung persentase tentang pilgub Jatim, lembaga harus memegang seluruh daftar pemilih tetap (DPT). ”Kalau tidak punya, tidak bisa dilakukan simple random sampling,” terangnya.
Karena itu, hanya institusi seperti pemerintah dengan sensusnya yang bisa melakukan metode tersebut. Sampel diambil secara acak dari daftar panjang yang dianggap bisa mewakili sejumlah anggota populasi lainnya.