Tapi mengerikan. Sebab, kita bakal menuai anak didik bermasalah. Pengetahuan, keterampilan hingga prilaku. Lantaran penelitian dan jurnal semata yang jadi incaran prestise. Bukan prestasi. Kita juga akan dijauhi oleh masyarakat. Di puncak menara gading, berjubel lah kaum ilmuan. Jauh dari permasalahan akar rumput komunitas.. Jangan lah…
Mengapa?. Karena, ukurannya adalah riset dan jurnal internasional semata. Pengalamannya hampir analog dengan kebiasaan orang tua yang mengandalkan matematika, fisika dan sejenisnya untuk ukuran kualitas anak. Kalau nilai matematika jatuh, disalahkan akibat terlalu banyak main bola kaki. Setelah Ronaldo dan bintang sepakbola dibayar dengan jutaan dolar. Baharu kita sadar bahwa mengagungkan secara fanatik pada satu bidang dan menistakan yang lain, adalah tindakan keliru, fatal dan kurang bermartabat.
Labih sepuluh tahun silam, orang Jerman datang ke Universitas Tadulako. Membawa program kerjasama riset tentang “Forest Margin”. Saya ikut terlibat. Dibuatlah seminar internasional di Palu. Orang pedalaman yang adalah kaum tani, diundang. Petani ini bertanya, dalam gemerlapnya kegiatan riset ini apa outputnya..?
Para ilmuan kala itu berlomba menjawab dengan jawaban beragam. Antara lain, hasilnya akan diterbitkan di jurnal internasional.
Lalu, ada petani lain menimpali. Terus, apa manfaatnya bagi kehidupan kami sebagai petani? Di tempat kalian melakukan penelitian ini? Saya menyaksikan kebanyakan ilmuan, termasuk saya, gagap dalam menjawabnya.
Karena itu, saya sarankan, mari kita bagi peran saja. Ada dosen yang fokus prioritasnya riset. Ada yang pendidikan dan mungkin ada yang khusus pengabdian masyarakat. Tapi apapun itu. Sekarang, sejak Mei 2019, saya telah disematkan gelar Assistant Professor dan Associate Professor. Namun, tetaplah panggil saya, Guru saja. Atau, Guru Kecil di Universitas Tadulako. Wallahualam.