PALU EKSPRES, PALU– Langkah pemerintah untuk melibatkan TNI dalam pembangunan rumah pascabencana di Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong, harus disikapi hati-hati. Pemerintah pusat seharusnya memberi penjelasan kepada masyarakat tugas-tugas apa saja yang dikerjakan oleh TNI selama berada di masyarakat. Hal ini penting diketahui masyarakat agar tidak terjadi salah persepsi.
Sekretaris Jenderal SKP HAM Sulawesi Tengah, Nurlela Lamasituju mengatakan, belajar dari penanganan rehab rekon pascakonflik di Kabupaten Poso, penempatan aparat kemanan dalam waktu yang lama justru menimbulkan persoalan baru. Salah satunya eksploitasi seksual terhadap perempuan.
Di Poso, ungkap Nurela, masyarakat menstigma perempuan korban dengan sebutan “Koramil” (korban rayuan militer). Akibat banyaknya perempuan muda yang dipacari lalu dihamili dan tidak dinikahi oleh aparat TNI maupun Polisi. ”Kalaupun ada yang dinikahi namun tidak dinafkahi,” katanya.
Eva Bande. Foto: Istimewa
Banyak anak anak TNI lahir dari rahim perempuan Poso yang tidak mengenal ayahnya sampai hari ini. Komnas Perempuan membuat laporan khusus terkait pelanggaran HAM Perempuan di Poso tahun 2007, tercatat 58 kasus kekerasan seksual yg dilakukan oleh aparat.
Sorotan terhadap kehadiran militer dalam tahap rehab rekon pascabencana di Sulawesi Tengah, juga datang dari relawan Pasigala Center.
”Pelibatan TNI adalah langkah mundur yang dilakukan oleh pemerintah,” sebut Khadafi Badjerey Sekjend Pasigala Centre dalam rilisnya.
Sedikitnya akan ada 1.000 personel TNI yang diturunkan di tiga wilayah kabupaten/kota terdampak di Sulteng. Di Kota Palu diturunkan 430 personel, Kabuate Sigi 300 dan Kabupaten Donggala 270 personil. Mereka akan berada di Sulteng selama 180 hari.
”Kami khawatir kebijakan ini akan mengesampingkan aspek kepimpinan sipil dalam proses RR, percepatan pemulihan dan pembangunan kembali pasca bencana yg harusnya lebih partispatif korban,” sebutnya.
Seharusnya, proses rehab rekon ini urusan sipil bukan ranah militer seperti semangat reformasi yang telah memposisikan TNI sebagai benteng pertahanan nasional.
Selain itu, pelibatan 1.000 personil (TNI aktif) juga akan menggunakan dana sebesar Rp26 miliar. Jika dana tersebut dikonversi menjadi hunian, maka pemerintah dapat membangun 522 unit hunian bagi korban. Ini dapat dimaknai sebagai upaya efesiensi dana bencana demi memprioritaskan memenuhan hak-hak korban bencana.