Oleh : Muhd Nur Sangadji
(muhdnursangadji@gmail.com)
Hari Rabu dan Kamis, 13-14 Juli, 2022, para walikota se Indonesia, berkumpul di Palu. Mereka bicara tentang “Bencana”. Karena itu, meremajakan (rejuvenate) beberapa tulisan ringanku tentang topik bencana tersebut. Ini salah satunya. Semoga bermanfaat.
Kepada siapa kita minta pertanggungjawaban ketika kebijakan publik itu berefek membunuh (mortal) ribuan manusia puluhan tahun kemudian. Inilah hal mendasar yang tidak terjawab hingga kini terkait kejadian Likuifaksi yang terjadi di Palu dan Sigi pada 28 September 2018. Peristiwa tersebut, selain menyisakan derita panjang, juga meninggalkan teka-teki tidak terjawab tentang pemicu kejadian.
Dalam sebuah presentasi oleh ahli geologi pada seminar nasional tentang bencana yang digagas ACT di Palu beberapa waktu lalu, mengungkap hal ini. Tentu saja, masih butuh riset mendalam, tapi testemoni masyarakat, menjelaskan hal menarik, sekaligus mengerikan. Mereka bilang, patut diduga bahwa ketersediaan air tanah dangkal sebagai salah satu faktor pemicu likuifaksi (soil liquefaksi), amat terkait dengan keberadaan irigasi Gumbasa. Jaringan irigasi ini kata masyarakat yang diungkap pembicara, tidak memiliki alas beton, sehingga imbibisi atau rembesan air terjadi setiap kali aliran irigasi berfungsi.
******
Allen Hazen, adalah orang pertama yg menggunakan istilah ini berkait kegagalan Bendungan Calaveras di California tahun 1918. Persis seratus tahun kemudian, 2018, terjadi di Palu dan Sigi, Indonesia. Mekanisme sederhananya, jika tekanan air dalam pori-pori cukup besar untuk membawa semua beban. Tekanan itu akan berefek membawa partikel-partikel menjauh dan menghasilkan tekanan yang secara praktik seperti pasir hisap.