Covid-19: Damai atau Adaptasi..?

  • Whatsapp
Nur sangadji. Foto: Dok

Ternyata, damai yang dimaksud itu, adalah adaptasi. Saya berfikir, kaidahnya mulai mengena. Kalau begitu, mengapa tidak langsung disebut adaptasi saja ? Tapi sudahlah, barangkali damai itu bahasa politik. Sedangkan, adaptasi itu bahasa ilmu pengetahuan. Mari rukunkan keduanya agar bermakna sama.

Di dalam ilmu lingkungan, dikenal tiga pendekatan dalam menghadapi musibah. Mitigasi, alternatif dan adaptasi. Kalau kita menumpang kereta api Bogor ke stasiun kota Jakarta. Kita akan lewati stasiun Gambir. Di sebelahnya ada Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Suara kereta diasumsikan mengganggu dua tempat ibadah itu. Maka tindakan mitigasinya adalah dipasangkan dinding kaca meredam suara di samping luar rel kereta api.

Bacaan Lainnya

Bila tidak menyelesaikan masalah kebisingan. Boleh cari alternatif lain. Pindahkan rel kereta atau masjid dan gereja. Tapi, ini pasti sulit. Maka, adaptasi dapat dipilih. Orang beribadah sambil dengar suara kereta api. Lahirlah kebiasaan baru (new normal behavior).

NEW NORMAL

Bupati Poso, Muin Pusadan, saat terjadi konflik horisontal, pernah berkisah. Waktu beliau pulang ke Palu, mengeluh kesulitan tidur. Masalahnya, karena tidak terdengar lagi suara bunyi tembakan. Justru, pada keadaan kota Poso yang bising oleh suara letupan, beliau tertidur. Lihatlah, betapa kebiasaan itu terbentuk oleh keseringan.

Cerita kebisingan kereta menjadi lain, bila teknologi perkereta apian kita berkembang. Sama dengan kereta api Jepang, Shinkansen. Atau, Perancis, TGV (Train Grande a Vitesse). Kedua jenis kereta ini kecepatannya di atas 400 an km/jam. Hampir setengah kecepatan pesawat udara. Sangat cepat, tapi suaranya halus sekali. Bandingkan dengan kereta kita yang rata-rata hanya sekitar 150 km/jam dengan suara bergemuruh.

Jadi, teknologi sebagai produk ilmu pengetahuan, menjadi pilihan solusi. Covid- 19 juga sedang menunggu peran pengetahuan dan teknologi ini. Tentu, di bidang kesehatan. Produknya bernama “vaksin”. Sayang, sampai kini, meskipun sudah ada wujudnya. Implementasinya masih penuh keraguan.

Maka, tibalah kita pada simpulan akhir. Yaitu, bahwa Covid-19, adalah reaksi alam atas tindakan menyimpang (deviant behavior) yang kita produksi. Berdamai ataupun adaptasi menjadi tidak penting lagi untuk disoal. Pengakuan (recognition) bahwa kita harus hadapi bersama (collective awarness) dengan semua cara yang benar. Itu lebih penting. Kekompakan (togetherness) menjadi taruhan. Karena, tanpa itu, kita bakal musnah bersama. Serentak atau perlahan. Wallahu a’lam bi syawab. Selamat memasuki tahun baru 2021. ***

Pos terkait